Pada
tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah
badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat
pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk
menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI.
Selaku pemimpin Masyumi beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang
membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam
gerakan politik, tahun 1944 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta
yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan
tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Wahid
Hasyim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19
April 1953.
K.
H. A. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan,
politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah
ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Untuk
memperingati satu abad kelahiran K. H. A. Wahid Hasyim, diadakan serangkaian
acara di beberapa kota di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Rangkaian acara dimulai
dengan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) mengenai Wahid Hasyim yang diikuti 260
makalah dari kategori santri/pelajar dan mahasiswa/umum dan akan diakhiri
dengan seminar nasional mengenai pemikiran politik Wahid Hasyim pada 25 Juni
2011.
Acara
yang digagas oleh Keluarga Besar K. H. A. Wahid Hasyim ini dilakukan sebagai
bentuk penghormatan dan mengangkat pemikiran – pemikiran K. H. A. Wahid Hasyim
tentang pembaharuan Islam Indonesia.
“Sebagaimana
pahlawan bangsa lainnya, kita harus menghormati dan mengangkat nilai
perjuangannya. Demikian juga untuk Kiai Wahid, karena ada nilai kejuangan dan
peran menonjol dari dirinya untuk kemerdekaan, sebagai tokoh brilian yang
progresif bahkan memberi nilai baru pada Departemen Agama.” Ungkap Ketua Umum
Panitia Pelaksana Satu Abad K. H. A. Wahid Hasyim, Aisyah Hamid Baidlowi.
No comments:
Post a Comment